Penyebaran informasi yang masif tidak dibarengi dengan standar etika, sehingga efek domino menyertainya. Sebagai contoh, muncul berita hoax dan fitnah pada berbagai pihak. Dalam Islam, sebelum menyebarkan sebuah informasi, kita perlu melakukan cek dan ricek. Istilahnya adalah tabayyun.
Kecanggihan teknologi era ini
telah menyebabkan percepatan aliran informasi yang beredar setiap harinya. Jika
pada tahun 70 sampai 90-an, informasi lebih banyak didapat dari surat kabar
cetak maupun radio, kini masyarakat bisa mendapatkan semuanya melalui ponsel.
Bukan hanya dari sumber resmi, banyak pula kanal-kanal tidak resmi yang ikut
menyiarkan. Salah satunya lewat media sosial. Melalui klik like, share, maupun
repost, informasi itu bisa segera tersebar dalam hitungan detik, menjangkau
ribuan bahkan jutaan orang.
“Bila dalam bicara saja kita
perlu menjaga lisan, maka menjaga ketikan dimedia juga tidak kalah penting.”
Memang hal ini sekilas tampak
memudahkan,tetapi ada sisi negatif yang juga perlu diperhatikan, terutama untuk
masyarakat Indonesia. Penyebaran informasi yang masif tidak dibarengi dengan
standar etika, sehingga efek domino menyertainya. Sebagai contoh, muncul berita
hoax dan fitnah pada berbagai pihak. Dalam Islam, sebelum menyebarkan sebuah
informasi, kita perlu melakukan cek dan ricek. Istilahnya adalah tabayyun.
Sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Hujurat: 6
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا ۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ ٦
artinya, “Wahai orangorang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”
Untuk itu, sebelum menyebarkan informasi, perlu menilai
sumbernya terlebih dahulu. Apakah sumber beritanya berasal dari kanal media
yang terpercaya, atau justru hanya pesan terusan yang beramai-ramai disebarkan
tanpa tahu asal mulanya dari mana? Informasi berupa video juga perlu dipastikan
untuk menonton video utuhnya agar mendapat penjelasan komprehensif, bukannya
hanya menyebarkan cuplikan video yang sering menimbulkan salah paham.
Etika lain yang perlu
diperhatikan dalam penggunaan media sosial adalah menjaga ketikan. Bila dalam
bicara saja kita perlu menjaga lisan, maka menjaga ketikan di media juga tidak
kalah penting. Terkadang, hanya karena di media sosial identitas kita bisa
dirahasiakan, maka kita mengetik sesuka hati, bahkan keluar kata kasar dan
tidak sopan. Fenomena cyberbullying pun muncul, yaitu kejadian perundungan yang
dilakukan secara online. Orang-orang beramai-ramai menyuarakan ketidaksukaannya
pada publik figur di media sosial, baik melalui komentar atau unggahan pribadi
berisi hinaan pada yang bersangkutan. Perundungan di media sosial ini tak
jarang menyebabkan gangguan Kesehatan mental, seperti kehilangan rasa percaya
diri, kecemasan berlebihan, hingga depresi.
Sebagai muslim, kita diwajibkan untuk menjaga setiap perkataan, baik lisan maupun tulisan. Allah berfirman dalam surah Al-Ahzab: 70 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian pada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” Rasulullah juga bersabda, “Barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaknya berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari). Kebebasan berpendapat di media sosial hendaknya kita gunakan untuk hal positif, misalnya berdakwah di wilayah yang lebih luas, alih-alih mencela sikap maupun pandangan orang lain. Kita boleh berbeda pendapat atau mengkritik orang, tetapi tetap gunakan bahasa yang santun. Ingatlah bahwa setiap perbuatan kita nantinya akan dihisab di hadapan Allah. Maka, jangan sampai kita menyesal jika tertunda masuk surga hanya sebab mengabaikan etika dalam bermedia sosial. Naudzubillah min dzalik.